10.16
0
Kemarin, sepanjang perjalanan dari Padang ke Bukittinggi, saya ditemani oleh seorang rendah hati yang menyimpan perjalanan hidup yang sangat hebat.

Kehidupan beliau dari kecil sampai lulus SMA dihabiskan di kota kecil di Jawa Barat, yaitu Ciamis. Selama di Ciamis, beliau merasakan bahwa nasibnya di kota kelahirannya tersebut berputar-putar di situ saja. Si remaja tersebut kemudian berusaha mencari cara agar nasibnya bisa jauh lebih baik dari itu.

Jawaban yang terpikir olehnya saat itu adalah 'Jakarta!'. Ya, dia harus ke Jakarta. Pikirannya saat itu beralasan, jika ditanya oleh orang "Dari mana kamu?", karena kota tinggal terakhirnya adalah di Jakarta, maka dia akan ringan menjawab, "Saya dari Jakarta!". Jawaban ini akan jauh lebih keren dan dipandang orang daripada dia menjawab, "Saya dari Ciamis".

Logika di atas saya pikir masuk akal juga, meskipun dalam hati saya pikir masa orang-orang bisa percaya, soalnya logat sunda-nya sekarang saja masih jelas, apalagi waktu beliau remaja dulu. Namun sesaat setelah saya berpikir tersebut, dengan senyum sedikit kecut, beliau mengakui seperti yang saya pikirkan.

Akhirnya beliau ke Jakarta dan setelah melamar kesana kemari dengan ijazah SMA, bekerjalah dia sebagai SPM di Sogo Plaza Indonesia. Mulailah dia merasakan kehidupan di Jakarta yang begitu 'bersahabatnya'. Sebagai SPM di Sogo, dia harus bekerja dengan seragam hitam putih, yang harus dia beli sendiri. Karena keterbatasan dana, dia hanya membeli 1 stel saja. Setiap pulang kerja, seragam yang dia pakai di pagi hari harus dia cuci dan keringkan di malam harinya agar bisa dipakai saat berangkat kerja kesokan harinya.

Pengalaman paling menyedihkan yang beliau alami adalah berangkat kerja dengan baju yang masih basah karena hujan turun semalaman.

Namun pelajaran paling penting saat itu adalah mulainya beliau bersentuhan dengan kehidupan masyarakat kelas atas yang sangat jauh berbeda dengan kehidupannya di kampung. Meskipun untuk hal ini beliau harus rela di peringati oleh managernya agar memperbaiki logat sundanya saat menghadapi konsumen.

Di Sogo beliau ditugaskan di counter produk-produk electronic rumah tangga yang lebih banyak dipakai di dapur.

Setelah jadi SPM, beliau mulai bergaul dengan salesman produk yang dia jual, yang kemudian membangkitkan target beliau selanjutnya, yaitu harus menjadi Salesman produk tersebut.
Dia berpikir keras bagaimana caranya agar dia yang pribumi, bisa masuk jadi sales produk tersebut yang semuanya etnis Tionghoa. Pikirannya mengarah kepada kesimpulan, kalau begitu saya harus jadi SPM terbaik dibanding yang di toko-toko lain.

Mulailah beliau memacu diri agar jadi yang terbaik penjualannya. Dan memang akhirnya dia berhasil menjadi yang terbaik beberapa bulan berturut-turut, sampai akhirnya General Manager produk tersebut mengunjungi counternya di Sogo karena melihat pencapaiannya yang luar biasa.

GM tersebut melihat counter yang sangat bersih, lalu melihat display produk lampu belajar yang semuanya menyala (padahal di counter lain tidak ada yang menyala, untuk ini beliau modal sendiri membeli kabel dan connectornya), lalu pengelolaan stok yang sangat rapih dan baik. Dan akhirnya di GM tersebut menawarkannya untuk menjadi Sales di kantor pusat produk tersebut.

Mulailah beliau menapaki karir di markas produk tersebut. Saat pertama masuk beliau mendapatkan kemudahan, karena diminta oleh GM untuk jadi sales dan juga tidak punya motor, beliau langsung diberikan kredit motor ringan oleh perusahaan. Cicilannya hanyalah 30% dari insentifnya saja. Seperti biasa, tantangan baru mulai muncul, dan yang pertama dihadapi adalah kenyataan bahwa dialah satu-satunya karyawan pribumi diantara sekian banyak karyawan di tempatnya bekerja. Mulailah beliau melakukan penyesuaian & strategi, yang salah satunya adalah dengan menawarkan mengantarkan para sales yang lain dengan motornya saat berkunjung ke dealer. Hasilnya para dealer & toko yang tadinya hanya percaya pada non-pribumi berhasil 'jatuh' ke rayuannya, dan penjualannya selalu capai target. Bahkan, cicilan motor yang tadinya bisa jadi panjang, hanya dalam waktu 6 bulan saja sudah lunas, sampai mengagetkan bagian akunting di tempatnya. Sampai akhirnya belaiu mencapai level Supervisor Sales.

Sekitar 7 tahun yang lalu, beliau masuk di perusahaan kami sebagai sales coordinator di cabang Palembang. Kemudian karirnya naik menjadi kepala cabang Jambi di tahun 2008, kemudian ditugaskan menjadi kepala cabang Purwokerto di 2010, dan sekarang di 2011 ini, beliau ditugaskan di cabang Padang.

Secara materi, beliau sudah bisa dibilang sukses. Tapi sikap kesehariannya, yang akrab ke semua karyawan di cabang tempat dia bertugas, meskipun itu satpam atau bagian umum, tetap seperti waktu dia masih "susah" dulu. Logat sundanya pun masih belum hilang. Yang beda adalah kalau dia ditanya 'darimana', beliau bisa menjawab, saya dari Jakarta, Palembang, Jambi, Purwokerto, Padang, dan Jepang. Ya karena prestasinya beliau pun pernah mendapatkan tiket untuk jalan-jalan ke Jepang.

Berkali-kali beliau bilang, "Saya harus beda nih, harus melawan arus". Dan terbukti dari dia merantau ke Jakarta, kerja jadi sales, kerja di tempat yang semua karyawannya etnis Tionghoa, menikah dengan istri keturunan Tionghoa, mau di tempatkan di daerah yang orang lain tidak mau, dan mungkin lawan arus lawan arus yang lainnya nanti.

Kalau boleh saya simpulkan, untuk bisa menjadi sukses, selalu kuncinya adalah tekad yang keras dan jelas, yang akan menjadi pintu kita untuk meraih kesuksesan.

Salam Supri...

0 komentar:

Posting Komentar